Panting: Cerminan Budaya Musik Tradisional dari Kalimantan Selatan
Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, salah satunya tercermin dalam ragam alat musik tradisional dari berbagai daerah. Di antara ragam kekayaan budaya Kalimantan Selatan, panting dikenal sebagai alat musik petik khas yang mencerminkan identitas masyarakat Banjar. Alat musik ini bukan hanya sekadar sarana hiburan, tetapi juga bagian dari warisan budaya Banjar yang memiliki nilai historis, artistik, dan sosial yang mendalam.
Asal-Usul dan Sejarah Panting
Panting berasal dari masyarakat Suku Banjar di Kalimantan Selatan. Nama “panting” diyakini berasal dari kata dalam bahasa Banjar yang berarti “memetik,” merujuk pada cara memainkan alat musik ini. Panting mulai dikenal luas sekitar abad ke-19 dan dipercaya mendapat pengaruh dari alat musik gambus Timur Tengah, yang kemudian berakulturasi dengan budaya lokal.
Alat musik panting berkembang di kalangan masyarakat pesisir, khususnya di daerah Hulu Sungai dan Martapura. Pada masa lampau, panting sering dimainkan dalam acara pernikahan, syukuran, hingga pengajian. Seiring waktu, panting menjadi simbol identitas masyarakat Banjar dan tetap bertahan hingga kini sebagai salah satu warisan budaya yang terus dijaga.
Bentuk dan Bahan Pembuatan
Panting termasuk dalam kategori alat musik petik berdawai. Secara bentuk, panting memiliki ukuran kecil hingga sedang, menyerupai perpaduan antara gambus dan ukulele. Badannya berbentuk oval atau lonjong dengan leher panjang, dan biasanya memiliki empat hingga lima senar (dawai) yang dipetik dengan jari.
Alat musik ini terbuat dari bahan kayu lokal seperti kayu nangka, kayu ulin, atau kayu meranti, yang dikenal kuat dan tahan lama. Bagian permukaan panting dilapisi kulit tipis atau kayu tipis sebagai resonator suara. Senarnya bisa terbuat dari nilon atau baja halus.
Kerajinan pembuatan panting sering kali dilakukan secara tradisional oleh pengrajin lokal dengan ukiran khas Banjar yang mempercantik tampilannya. Setiap panting yang dibuat secara manual biasanya memiliki karakter suara yang unik dan khas.
Cara Memainkan dan Fungsi Musik Panting
Panting dimainkan dengan cara dipetik menggunakan jari, baik secara solo maupun sebagai bagian dari ansambel musik tradisional. Dalam pertunjukan, panting sering dipadukan dengan alat musik lain seperti biola, ketipung, dan gendang. Musik yang dihasilkan cenderung bernuansa ceria, cepat, dan dinamis.
Selain sebagai hiburan, panting juga digunakan dalam berbagai kegiatan budaya seperti tari tradisional, pertunjukan rakyat, dan ritual adat. Lirik lagu yang mengiringi biasanya berbahasa Banjar, berisi pesan moral, nasihat hidup, atau kisah cinta sederhana.
Pelestarian dan Perkembangan
Meski sempat meredup karena pengaruh modernisasi, panting kini mulai mendapatkan perhatian kembali. Berbagai komunitas seni dan sanggar budaya di Kalimantan Selatan terus menghidupkan kembali tradisi panting melalui pelatihan, festival, hingga pertunjukan di tingkat nasional.
Pemerintah daerah dan instansi budaya turut mendukung dengan menjadikan panting sebagai bagian dari kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah. Tak sedikit pula seniman muda yang mengaransemen lagu-lagu modern dengan iringan panting, menjadikannya lebih relevan di mata generasi sekarang.
Beberapa kompetisi musik tradisional juga rutin diselenggarakan untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap alat musik ini. Bahkan, di acara besar seperti Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan atau Festival Budaya Banjar, panting selalu hadir sebagai elemen penting yang memeriahkan suasana.
Kesimpulan
Panting bukan hanya alat musik, melainkan simbol kebanggaan budaya masyarakat Banjar. Ia mencerminkan kearifan lokal, kekayaan seni, dan warisan sejarah yang layak dilestarikan. Di tengah arus globalisasi, pelestarian panting menjadi tanggung jawab bersama agar generasi mendatang tetap bisa menikmati indahnya harmoni dari alat musik sederhana yang sarat makna ini.